Makalah Al-'adat Al-Muhakkamah

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Qaqaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qowaidul fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasam dalam maklah ini yaitu al’adah al-muhakkah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tubuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nila-nilai yang berkembang didalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi, dan kondisi yang sering berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau kebiasaan) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-‘adah al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum.


  1. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pengertian dari Al-‘adat Al-Muhakkamah ?

  2. Bagaimana dasar-dasar hukum dari Al-‘adat Al-Muhakkamah ?

  3. Bagaimana perbedaan dari Al-‘adat dengan Al-Urf ?

  4. Bagaimana macam-macam dari Al-‘adat Al-Muhakkamah ?


  1. Tujuan

  1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian dari Al-‘adat Al-Muhakkamah

  2. Untuk mengetahui bagaimana dasar-dasar hukum dari Al-‘adat Al-Muhakkamah

  3. Untuk mengetahui perbedaan dari Al-‘adat dengan Al-Urf

  4. Untuk mengetahui macam-macam dari Al-‘adat Al-Muhakkamah




















BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Kaidah Al-‘Adat Al-Muhakkamah

Secara bahasa, Al-‘Adat diambil dari kata al-‘awud atau mu’awadah yang artinya berulang. Oleh karena itu, tiap-tiap sesuatu yang sudah biasa dilakukan tanpa diusahakan dikatakan sebagai adat. Dengan demikian sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Adapun definisi Al-‘adat menurut ibnu Nuzhaim adalah : “ Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa ditrima oleh tabiat yang sehat “ 

Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain dari kata Al-‘adat yaitu Al-‘Urf yang secara bahasa berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannnya, sedangkan Al-‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-mengulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum. Sedangkan arti Muhakkamah adalah putusan hakim dalam pengadilan dalam menyelesaikan sanketa, artinya adat juga bisa menjadi rujukan hakim dalam memutuskan persoalan sangketa yang diajukan ke meja hijau.

Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa disuatu keadaan, adat bisa dijadikan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari’. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa secara hidup dan kehidupan itu berbentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. 

Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebaginya dan islam dalam berbagai ajaran yang didalamnya menganggap adat sebagai pendamping dan elemen yang bisa diadopsi secara selektif dan proposional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’.

Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah radisi baik umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat islam terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan hasil dalil nash yang secara khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat ditrima begitu saja, karena suatu adat bisa ditrima jika memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Tidak bertentangan dengan syari’at

  2. Tidak menghilangkan kemashlahatan

  3. Tidak berlaku pada umumnya orang muslim

  4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah


  1. Dasar Hukum Kaidah Al-‘Adat Al-Muhakkamah 

Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu : 

وَ أمٌر بِا لعُرفِروَأَعرِض عَنِ الجَا هِلِينَ

“ Dan suruhlah orang-prang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh “ (QS.Al-‘A’raf : 199)

وَعَا شِرُ و هُنَّ بِا لمَعرُوفِ 

“ Dan pergaulilah mereka secara patut “ (QS. An-Nisa : 19)



Dasar hukum didalam hadist yaitu :

مَارَءَاهُالمُسلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَا اللّهِ وَمَارَءَاهُ المُسلِمُونَ سَياءً فَهُوَ عِندَاا اللّهِ سَيءٌ

“ Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula disisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk “ (HR. Ahmad, Bazar, Tabrani dalam kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas’ud).

  1. Perbedaan antara Al-‘adat dengan Al-‘Urf

Proses pembentukan adat adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’araf, adat berubah menjadi ‘urf (haqiqat al-‘urfiyyah) sehingga adat merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan berulang-ulang. Lalu tertanam didalam hati, kemudian menjadi ‘urf.

Oleh sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa adat dan ‘urf dilihat dari sisi terminologisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil, artinya penggunaan istilah ‘urf dan adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana ‘urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh orang (kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah baik dan buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgent, selama dilakukan seacar kolektif, dan hal seperti masuk da;am kategori ‘urf. Sedangkan adat mendefinisikan sebagai tradisi (budaya) secara umum, tanpa melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.

Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan istilah adat dan ‘urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu : ‘urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan, dan harus dilakukan oleh sekelompok, sedangkan obyeknya lebih menekankan pada posisi pelakunya. Adat hanya melihat dari sisi pelakunya dan juga boleh dilakukan pribadi atau kelompok, serta obyeknya hanya melihat pada pekerjaan.

Sedangkan persamaannya adalah sebuah pekerjaan yang sudah ditrima akal sehat tertanam dalam hal dan dilakukan berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka dapat disimpulkan bahwa istilah adat dan ‘urf memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara ‘urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara ‘urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhanya adat hanya bisa melihat aspek pekerjaan, sedangkan ‘urf lebih menekankan aspek pelakunya.

Persamaan adat dan ‘urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah dtrima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang, dan sesuai dengan karakter palakunya. Dalam bahasa arab al-‘adat sering pula di samakan dengan ‘urf dari kata itulah, kata al-ma’ruf yang sering disebut delam al-qur’an. Oleh karena itu makna asli al-ma’ruf ialah sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).

   

  1. Macam-Macam Kaidah Al-‘Adat Al-Muhakkamah

  1. Kaidah Al-‘Adat

الحَقِيقَةُ تَترُ كُ بِدً لَا لَةِ اعَدَةِ

“ Hakikat yang ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat “

Contohnya : Seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi sehingga penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harganya naik 



الكُتُبُ كاَ خَيطَب

“ Tulisan sama seperti ucapan “

Contohnya : Seorang hakim diperbolehkan memutuskan suatu keputusan berdasarkan data-data dan arsip hasil keputusan para hakim sebelumnya

الاًشَارَةُ المَعهُودُ لِلأَ خرَسِ كَا لبَيَانِ بِا للِّسَنِ

“ Isyarat yang berlaku bagi orang bisu, sama seperti dengan ucapan lisan “

Contohnya : Jika seorang wali menikahkan anak perempuannya dengan seorang bisu, lalu setelah ijab diucapkankanya kemudian diikuti oleh anggukan kepada calon pengantin laki-laki yang menandakan persetujuannya, maka akad nikah tersebut dihukumi sah

  1. Kaidah Al-Muhakkamah

إِستِعمَا لٌ النَّا سِ حًخَةٌ يُجِبُ العَمَلُ بِهِ 

“ Pengalaman oleh masyarakat umum merupakan dalil wajibnya mengamalkan dalilnya “

Contohnya : Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku

الكُتُبُ كاَ خَيطَب

“ Tulisan sama seperti ucapan “

Contohnya : Seorang hakim diperbolehkan memutuskan suatu keputusan berdasarkan data-data dan arsip hasil keputusan para hakim sebelumnya

المُمتَنَعُ عَادَةٌ كَاالمُمتَنَعً حَقِيقَةٌ 

“ Sesuatu yang tercegah secara adat sama seperti secara adat hakikatnya “

Contohnya : Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal usul tanah tersebut

إِنَّمَا تُعبَرُ عَادَةٌ إِذَاضطَرَدَت او غًلِبَتَ

“ Hanya saja adat-adat yang terus berlaku umum atau lumrah “

Contohnya : Apabila seseorang yang berlangganan koran kemudian selalu diantar kerumahnya ketika koran tersebut tidak diantar kerumahnya maka dapat menuntut kepada orang tersebut 

النَّعيِيسُ بِالعُرفِ كَالتّعبِينُ بِا لنَّصِّ

“ Menentukan dengan kebiasaan sama seperti menentukan dengan nas syariat “

Contohnya : Apabila seseorang memelihara sapi orang lain, maka upah pemeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua untuk yang memelihara selanjutnya secara bergantian

المَعرَوط التّحجَاركا لشرُوط بَينَهُم

“ Sesuatu yang di isyaratkan diantara para pedagang. Seperti sesuatau yang disyaratkan mereka “

Contohnya : Transaksi jual beli batu bata bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumahnya, biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya kelokasi pembeli

لاَ يُنكِرُ تَغيِر الاَ حكَا مِ بِتَغيِرِ الاَر حَانِ

“ Tidak diingkari berubahnya hukum sebabnya berubah zaman “

Contohnya : Orang sakit yang tidak mampu berdiri diperbolehkan menunaikan sholat sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda.


BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Bahwasannya kaidah fiqh adalah tentang adat atau kebiasaan dalam bahasa arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu Al-‘Adat adalah apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.

Istilah adat dan Al-U’rf memang beda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan, sementara Al-Urf hanya melihat pelakunya. Disamping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok, sementara Al-Urf harus dijalani oleh komunitas tertentu. Sederhanya adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan Al-Urf lebih menekankan aspek pelakunya. Persamaannya, adat dan Al-Urf adalah sebuah pekerjaan yang sudah ditrimaka akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bila mana adat istiadat itu berubah.

  1. Saran

Dengan membaca makalah ini kami berharap agar para pembaca yang budiman dapat mengambil satu hikmah sehingga dapat bermanfaat. Dan tentunya, kami sadar bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan. Dengan demikian adalah suatu kegembiraan kiranya terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan





DAFTAR PUSTAKA

 Al-Qaradhawi Yusuf , 7 Kaidah Ulama Fiqh Muamalat, (Jakarta : Pustaka Al-Kaustsar 2014)

Arfan, Abbas, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam ekonomi Islam dan perbankan syariah, (Jakarta : Direktorat pendidikan tinggi islam dan direktorat jenderal pendidikan islam kementrian agama RI, 2012)

Dzazuli, A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis), (Jakarta : Kencana 2007)

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah asasi), (Jakarta : PT : Raja Grafindo Persada, 2002)

Usman, Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2002)

Tamrin, Dahlan, Kaidah-kaidah hukum islam (Kulliyah al-Khamsah), (Malang : UIN Maliki Press, 2010) 



Comments

Popular posts from this blog

Makalah PANDANGAN HIDUP , TANGGUNG JAWAB , DAN HARAPAN MANUSIA

Makalah Strategi bersaing dalam berwirausaha