Bersahabat dengan orang Alim, bersahabat dengan orang Jahil.
Hakikat dari seseorang yang alim itu
adalah yang mengamalkan ilmunya, bukan hanya sekedar menghiasi diri dengan
pengetahuan saja. Ilmu tanpa amalan bagaikan pohon yang tidak berbuah. Bila
seseorang itu berilmu, maka dia pasti tidak tunduk, tidak menyerah kepada hawa
nafsunya.
***
“Engkau
bersahabat dengan orang bodoh tetapi tidak mengikuti hawa nafsunya, itu lebih
baik bagi kamu dari pada engkau bersahabat dengan orang alim, tetapi suka
mengikut hawa nafsunya. Tak mungkin ilmu itu dimiliki orang alim yang
menyenangi hawa nafsunya, dan dimana letak kebodohan orang bodoh yang tidak
menuruti nafsunya”.
“Bersahabat
itu sangat penting, karena akan menambah dan meluaskan pergaulan dan meniadakan
hidup kesendirian atau individual. Sebab pergaulan akan menghidupkan rasa
solidaritas. Oleh karena itu, memilih teman bergaul diperlukan agar terhindar
dari pengaruh jelek yang akan merusak pribadi seseorang, dan mengaburkan
kesucian dari wajahnya. Demikian juga bergaul dengan orang berilmu yang saleh
akan mendapatkan ilmu dan keshalihanya, sedangkan bergaul dengan orang yang
bodoh dan rusak akan mendapatkan kebodohan dan kerusakannya. Namun, kita
dilarang bersahabat dengan orang alim tetapi yang tunduk kepada nafsunya.
Sahabat
yang paling baik ialah bergaul dengan orang “bodoh” tetapi berbudi pekerti baik
dan saleh. Sebaliknya, sejelek-jeleknya pergaulan adalah bergaul dengan orang
“alim”, tetapi suka mengikuti hawa nafsu, orang “bodoh” ini adalah orang yang
bijaksana. Karena, tidak mungkin dia bodoh padahal dia mampu melawan, dan
menundukkan hawa nafsu. Sebaliknya, tidak mungkin orang “alim” itu dan
bijaksana, kalau dia masih mengikuti hawa nafsunya. Sebenarnya, orang “alim”
yang mengikuti hawa nafsunya adalah orang bodoh, karena tidak bisa menundukkan hawa nafsunya.
Banyak
orang “alim” yang mengagumi keaimannya, bahkan ada juga yang menentang Tuhan
dengan ilmu dan kealimannya. Maka, seorang hamba yang menuju ma’rifat, selain
memilih teman bergaul, juga wajib hati-hati dalam pergaulan. Sebab, hanya ada
dua pilihan: akan terangkat ke maqom ketaatan dan ma’rifat atau akan terjerumus
ke lembah maksiat dan kerusakan. Banyak terjadi, orang-orang berilmu dan
pemimpin umat terjerumus ke lembah hawa nafsu dan kemaksiatan, kerena ilmunya
tidak mampu melepaskan diri dari godaan hawa nafsu dan kemaksiaat, karena
ilmunya tiak mampu melepaskan diri dari hawa nafsu.
Bisa
jadi, orang “bodoh” tanpa ilmu, lebih mudah menghindari hawa nafsu dan langkah
maksiat. Ya, bisa jadi “kebodohan” menyelatkan seseorang terjerumus ke dalam
godaaan hawa nafsu, kepandaian kadang-kadang membuat orang merasa mampu
berhadapan dengan pengaruh dunia melalui ilmunya, akan tetapi ternyata ia lemah
ketika berhadapan dengan kenyataan. Mengapa? Karena kadang-kadang orang pandai
merasa mampu lalu sombong, saat itulah tampak kelemahanya. Ia bisa terjebak
masuk ke wilayah hawa nafsu, sadar atau tidak sadar. Hamba yang sedang berjalan
menuju makrifat dan kesalehan serta keiklasan serta keihsanan, perlu
menempatkan dirinya dalam pergaulan penuh kewaspadaan. Kemudian memberikan
kekuatan bagi dirinya menjalankan syariat, dzikir dan tafakur. Sebaliknya,
walaupun dia “alim”, tetapi tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, hakikatnya
adalah bodoh.
Comments
Post a Comment